Kamis, 24 Juli 2014

Salatiga Kacamata Kuda

"Kado istimewa itu datang dariku dan untuk diriku"
            20 Juli 2014, pukul 15.40 WIB.
           Aku menenteng tas ransel yang berisi 13 eksemplar buku dan laptop. Sumpah, ini berat banget. Haha.
Aku masih duduk santai, di teras mushola sebuah pom bensin di Salatiga. Istirahat sebentarlah, setelah ikut kopdar kemudian menyempatkan untuk shalat ashar.
Satu hal yang aku pikirkan, kado spesial. Iya, hari ini aku ulang tahun yang ke-23. Fine lah jika ultah yang sudah-sudah berlalu begitu saja tanpa something yang meninggalkan kesan yang, emmmm... “uuuukh” gitu. Hehe. Harus ada. Kado spesial untukku dan dari diriku sendiri. Harus.
Breeem...breem...
Deru mesinku siap untuk melintas ke sebuah tempat yang inginku tuju. Laju motorku mulai memasuki pusat kota Salatiga. Kemudian aku memasuki area parkir Toserba ADA BARU. Tak lama aku di situ, aku hanya ingin mencari tempat parkir yang aman. Selesai memarkirkan motor, aku mulai berjalan kaki keluar dari Toserba.
“Oke, mari kita mulai, bung!” seruku pada diri sendiri.
Kakiku terus melangkah menuju sebuah tempat, dan... itu dia yang aku cariiiii. #girang. Haha.
Oh, kereta kuda, andong, dokar, atau apalah kalian menyebutnya. Sore ini aku akan berkeliling Salatiga naik andong. Mantaplah. Haha. #masih tetep girang.
“Pak, ke Nanggulan berapa, ya?” kataku basa-basi dengan Pak Kusir.
“Sendirian, dik?” tanyanya. Kemudian aku timpal dengan sebuah anggukan, isyarat bahwa aku sendirian. “lima belas ribu saja.”
“Oh, kalau gitu lima puluh ribu ini, pak. Bawa saya muter-muter salatiga, ya?” pintaku.
Deal. Aku langsung naik andong, kemudian duduk manis di samping Pak Kusir. Haha, #makin girang.
Dalam hati aku bernyanyi,
Pada hari minggu ku jalan-jalan ke kota. (tanggal 20 kemarin juga pas hari Minggu kok)
Naik andong istimewa, ku duduk di muka
Di samping pak kusir yang sedang bekerja
Mengendarai kuda supaya baik jalannya.
Tuk tik tak tik tuk.....
Pokoknya begitulah. Haha. Balik lagi ke cerita, yak.
Kesan pertama saat duduk di andong saat itu adalah WOOOOW, serius. Nyaman, santai, rileks. Nggak percaya? Coba aja sendiri. Hehe.
Kaki kuda perlahan mulai melangkah setelah tali kendali yang terus dipegang Pak Kusir itu ditarik.
Perjalanan dimulai, berawal dari Jalan Jendral Sudirman atau sepanjang jalan depan Hotel Wahid. Menyusuri jalan satu arah, aku membuka obrolan dengan Pak Kusir. Nggak lucu, kan kalau saat naik andong malah diem aja, apalagi malah termehek-mehek galau? Haduh. Haha.
Kholidi, itulah nama Pak Kusir tersebut. Lelaki berusia 60-an tahun yang memiliki anak 4 dan tinggal di cebongan, tingkir Salatiga. Rambutnya tak lagi hitam, tubuhnya agak membungkuk, tapi senyum dari bibirnya terus mengembang. Seorang kakek yang sudah berprofesi sebagai kusir sejak tahun 1975 itu cerita banyak hal di sepanjang perjalanan, baik tiba-tiba bercerita ataupun menjawab beberapa prtanyaan yang aku ajukan.
Ah, enaknya naik andong. Ketika aku membiarkan angin mengobrak-abrik rambutku, kemudian rambutku seperti terbang gitu, kayak iklan shampoo di televisi. Ah, iya, saat itu aku seperti artis yang sedang iklan shampoo. Haha.
Saat ada anak kecil yang berada didalam mobil melambaikan tangannya ke arahku. Ah, iya, yang seperti ini, aku serasa menjadi Raja Keraton yang sedang diarak oleh para pengawal, kemudian para warganya berteriak-teriak dan melambaikan tangannya. Apalagi di sepanjang Jl. Jendral Sudirman saat  itu sedang macet. Wah, benar-benar seperti menjadi pusat perhatian. Serius, nggak ke-pede-an kok. Tapi,, entah apa yang yang ada di pikiran mereka. Turis juga bukan, naik andong sendirian, ngobrol-ngobrol sok akrab sama Pak Kusirnya. Perfect. Haha.
Sampai di ujung Jl.Jensud ada lampu merah, kemudian kita belok ke kanan, melewati Jl. Ahmad Yani. Kanan-kiri ku lihat berjejer rapi pertokoan pujasera. Pertokoan yang sebagian besar dikuasai oleh keturunan Cina.
Keseluruhan rute yang aku lewati adalah Jl. Jensud – Jl. A.Yani – Jl. Osamaliki – Jl. Brigjen Sudiarto – Lapangan Pancasila – Jl. Adi Sucipto – Jl. Moh Yamin – Jl. Langen Suko, kemudian kembali lagi ke Jl Jendral Sudirman. Lumayanlah, bisa keliling salatiga naik andong dengan uang 50 ribu. Padahal kalau naik motor, bensin 5 ribu juga nggak habis. Tapi, sensasi yang kau rasakan berbeda. Coba aja. Hehe.
Tahu nggak? Berapa jumlah andong di Salatiga? Nggak tahu kan... iya kan. Hehe.
Ngabuburit sore itu, dari jam 16.10 sampai 17.05 membuatku tahu beberapa hal tentang dunia andong di Salatiga.
Tak pernah aku kira, kota Salatiga yang kecil itu memiliki 75 andong yang beroperasi untuk transportasi umum. Tahu nggak, apa yang membuatku heboh dan heran kemudian melongo saat itu. Serius, aku baru tahu saat itu.
Awalnya aku bertanya, kenapa andong punya plat nomer pak? Jujur, aku penasaran banget. Kan andong bukan kendaraan bermotor. Kenapa harus pakai plat nomer. Nggak penting juga, kan?
Ee ternyata, semua itu ada alasannya.
Setiap andong di Salatiga wajib punya plat nomer layaknya kendaraan bermotor lainnya. Kenapa? Karena andong juga memilik STNK. Terus... terus... Kusir andong ini juga wajib punya SIM loh. Surat ijin mengemudikan andong. Aku sempat tak percaya ketika diceritakan hal itu. Sempet melongo sejenak, lalu ada lalat lewat, hap, lalu di tangkap.. haha.
Keningku mengkerut tak percaya. Ternyata... begitu.
“Kalau begitu andong juga ada pajaknya dong, pak?” aku makin memberondong pertanyaan sama Pak Kholidi.
Dan, ternyata setiap tahun pajak setiap andong di Salatiga adalah 15 ribu. Murahlah. Padahal harga kuda, lengkap dengan keretanya sekitar 14 juta.
Dari STNK, SIM, kemudian pajak, semuanya diurus di kantor Dinas Pekerjaan Umum Salatiga.
Satu hal lagi, yang membuatku penasaran.
Kebanyakan kusir andong, kan, bapak-bapak dan kakek-kakek. Kalau anak muda seumuran saya begini, ada nggak, pak?
Apa jawabnya? Ternyata ada. Walaupun hanya satu hingga dua pemuda saja. Tidak dipungkiri, anak muda lebih mengendarai motor dan bekerja yang lain daripada bekerja jadi kusir andong.
“Lawong anakku wae juga nggak mau kok mas... mas,” jawab Pak Kholidi sambil tertawa.
Ya... ya... aku manggut-manggut. Ternyata....
Menurut cerita Pak Kholidi, dari semua angkutan transportasi umum di Salatiga, yang paling nyaman adalah naik Andong. Mereka memiliki sebuah paguyuban yang berkumpul tiap tiga bulan sekali. Kemudian, mereka tak pernah berebut penumpang, sekalipun  tidak ada nomer urut antrian seperti tukan ojek.
Apa kamu tahu? Ketika ada 4 andong berjejer, kamu bisa pilih andong yang mana yang kamu inginkan. Karena mereka tidak ada antrian mengangkut penumpang. Jadi, bebas baik dari yang paling kanan ataupun dari kiri. 4 andong itu sama saja. Kamu bisa pilih mana andong yang kamu suka, dan dengan warna kuda yang berbeda.
“Kan, kadang ada anak kecil yang pengen naik kuda yang warna coklat begini,mas. Bukan yang warna hitam. Jadi selera mereka saja.” Begitu tuturnya.
Lagi-lagi aku melongo, kagum. Hehe.
Dari sekian banyak hal yang mengesankan selama perjalanan naik andong tersebut, ada satu hal yang membuatku kecewa. Aku nggak bisa foto-foto bersama Pak Kholidi kusir kuda tersebut atau foto sendiri di atas andong. Ya, aku nggak cukup pede selfie di atas andong saat keadaan lalu lintas ramai gitu. Haha...
Tak, apalah. Tak apa.
Sudah yak cerita antara aku dan andong ini. Satu hal yang pasti dari perjalanan ini, kini hari ulang tahunku berkesan.
Alkhamdulillah. Haha. :D.
 

Minggu, 20 Juli 2014

Happy Birthday To Me


“Yang terindah itu, ketika kamu bisa mensyukuri bertambahnya umurmu dan menyadari bahwa Allah sangat menyayangimu atas usia yang sudah diamanahkan kepadamu.”

o0o Tarom Ahmad o0o




Allah,
Syukurku kehadiratMU atas amanah kehidupan ini
Kau masih memberi kepercayaan kepadaku untuk tetap memperbaiki diri dan meningkatkan rasa cintaku kepadaMU.
Semoga tetap terjaga iman dan islamku.
Kini dan esok.
amiiiin


Yap, tepat hari ini adalah hari ulang tahunku. 23 tahun silam, entah saat hujan atau panas, entah siang atau malam, yang aku tahu hari itu adalah hari Sabtu Wage 1991. Aku lahir dengan proses normal (kata ibuku). Katanya lagi, saat itu aku sangat imut, putih dan gemuk. Ah, ini serius atau ibuku Cuma menghiburku saja, aku tak tahu. Alkhamdulillah aku pernah gemuk. Walaupun toh, saat ini hitam dan kurus, tapi noting lah. Tetep keren dan cakep sebagai anak emak.
23 tahun, ya? Kata orang, ini adalah usia produktif untuk meraih cita-cita. Usia yang sudah mulai dibrondong dengan pertanyaan, “kapan nikah?”.
Aku beri tahu, cita-citaku sampai saat ini belum tercapai. Bahkan aku masih bingung menemukan passionku. Haha.
Kapan menikah? Subhanallah. Doakan saja sobat, agar kesendirian ini tak berlarut-larut. (#hiks, sambil meluk guling. Haha) Sehingga ada yang menjadi makmum saat aku sholat di rumah. #haddeeee. Hehe.
Aku tetap sendiri (baca: jomblo) dan masih diberi kepercayaan Allah untuk tetap seperti ini di usiaku sekarang. So, no excuse-lah soal status jomblo tersebut.
Aku bisa kok bernyanyi :
Happy birthday to me.....
Happy birthday to me.....
Happy birthdaay...happy birthday....
Happy birthday to me.....
Sama saja kan? Tinggal aku nyanyikan sendiri, dan mengganti kata “you” menjadi “me”. Jadi tak perlu galau tentang hal itu.
Kado? Bagaimana dengan kado. Yang spesial gitu kek.
Nah, masalah ini, aku sudah berpikir jauh-jauh hari. Aku akan memberi kado spesial untuk diriku sendiri. Iya, untuk aku sendiri. Hehe.
Rencana pertama, mungkin tak bisa aku lakukan, yaitu berbagi takjil di lampu merah atau di tempat keramaian gitu. Yang pasti, hal ini butuh beberapa teman dan dana yang cukup. Setelah aku pikir ulang, bakal repot jika dilanjutkan.
Tapi, its okey. Masih ada rencana kedua. Sepertinya ini yang akan menjadi kado untukku di ultahku saat ini. nanti sore, yang pasti mungkin aku akan kembali melakukan kebiasaan konyol dan kali ini, aku bisa pastikan, ini akan bermanfaat untukku dan orang lain. Sama siapa? Tak usah ditanya, aku lebih suka melakukannya sendiri. Dan menyendiri adalah saat dimana aku bisa bebas melakukan apa yang aku suka, tanpa ada beban memikirkan orang yang aku ajak. Hehe. Terkecuali, nanti ada teman yang ngotot banget untuk ikut.
Tunggu saja ceritaku selanjutnya tentang apa yang aku lakukan tersebut.

Jumat, 11 Juli 2014

Ada Yang Aneh Di Perpus

Ini adalah cerpen yang pertamaaaa banget aku buat. 2009, mungkin. Subhanallah, masih culun cerpenya. Aku menyebutnya terlalu bertele-tele dan ... ah, sudahlah. Dibaca aja, gaes. *dodit.



Ada Yang Aneh Di Perpus
Oleh : Tarom Ahmad

Keramaian ini seakan tak berpengaruh buatku. Riuh-riuh obrolan teman-temanku di kantin tak membuatku tertarik. Baru saja selesai pelajaran olahraga. Selesai pelajaran, pasti semua berebutan membeli es teh, pop ice dan macam es lainnya di kantin. Sementara aku cuma duduk termenung di depan kantin bu Tuti. Melamun, nampaknya sudah menjadi semacam hoby ku akhir-akhir ini. Ya, apalagi setelah kisah cintaku dengan Vio kandas. Aku yang biasanya super rame, cerewet dan ngerocos tiba-tiba seperti bunga layu.
“Hai, Gus !” teriak Makruf sambil menenteng gelas besar berisi es jeruknya itu.
Aku Cuma menoleh pahit sambil manatap Makruf.
“Ada apa? Jangan ganggu dulu deh.”
“Ah, kau itu. Cinta mulu yang dipikir. Cepet keriput ntar tu kulitmu. Haha.” Sahutnya dengan ketawa.
Dan aku cuma diam. Terserahlah apa kata mereka.
Di kelas pun sekarang aku seakan tak punya semangat ikut pelajaran. Apalagi saat ini pelajaran ekonomi, tambah ngantuk deh. Gurunya Cuma teori mulu.
Detak jam dinding yang tepat berada di atas papan tulis terdengar jelas di telingaku. Suara-suara mesin mobil yang lalu lalang di depan sekolah juga ku dengar. Nampaknya aku sudah tak sabar lagi untuk segera pulang. Ku perhatikan terus jarum panjang di jam dinding itu berputar. Aku perhatikan tiap detiknya agar tidak bosan menunggu bel pulang.
“Teeeet…teeeeet…teeet…”
“Yeee…” Teriakku gembira.
Akhirnya pulang juga. Tiga kali bel itu berarti bel pulang. Semua siswa di sekolahku berbondong-bondong keluar kelas.
“Ah, leganya bisa pulang. Em, kemana ya enaknya. Masak pulang kerumah. Hm, lagi suntuk ni.” Batinku saat berjalan menuju gerbang sekolah.
Aku naik angkot warna merah. Entah sampai mana angkot ini membawaku pergi. Ku ikuti saja kemana angkutan ini berjalan. Sepanjang perjalanan aku cuma termenung, tak sadar kalau ternyata angkut ini sudah sampai pemberhentian terakhir.
“Dek, dek, dek… Mau turun dimana, sudah habis ni.” Kata pak sopir angkutan tersebut.
Aku turun dari angkot. Ku berjalan tak jelas, tanpa tujuan dan masih memakai seragam putih abu-abu. Nampaknya perjalan ini sudah membuatku lelah. Kurasakan tenggorokan ini mulai kering.
“Bang, teh botol satu ya.” Pintaku pada penjual kaki lima di deket terminal  itu.
Ku teguk teh botol dingin itu, terasa teh dingin itu meluncur ke tenggorokanku. Hufh, plong. Batinku. Sejenak aku duduk dan ngobrol dengan penjual kaki lima itu. Disitu aku juga melihat beberapa orang yang keluar dari sebuah bangunan di deket terminal. Kulihat berbagai ekspresi yang aneh dari mereka. Mengapa pula mereka yang keluar dari bangunan itu banyak yang sumringah, tersenyum riang seperti gak ada masalah dalam kehidupan mereka. Ada apa di dalam bangunan itu, tempat apa pula itu. Pertanyaan itu berputar-putar di otakku. Kulihat dari jauh, di dalam bangunan itu, beberapa orang duduk sambil menunudukkan kepala, sedang apa mereka. Dan ada juga yang lain berdiri di samping rak-rak, yang entah apa yang berada di rak itu. Seakan ada magnet yang membuat mereka tertarik. Aku semakin penasaran. Ingin ku langkahkan kakiku kesana, tapi kenapa seperti ada yang membebani langkahku. Hiufhhh.. Kuhela nafasku.
Tak kusangka, ketika kulihat jam di handphoneku sudah jam tiga sore. Dengan rasa penasaran yang masih menghantuiku, ku putuskan untuk pulang kerumah dulu dan kembali kesini besok.
***
Malam harinya pikiranku mulai kembali masuk kedalam memori tentang hal aneh di bangunan dekat terminal tadi. Tempat apa itu, Kenapa terlihat aura kebahagiaan orang yang keluar dari situ. Hal-hal itu yang menjadi pemikiranku. Dan membuatku semakin penasaran untuk kesana besok sepulang sekolah. Malam ini juga, pikiranku juga masih belum bisa lepas dari Vio, wanita cantik yang kini menjadi mantan kekasihku. Aku masih belum bisa menerima kenyataan kalau aku sudah putus dengannya. Ya Tuhan… Bagaimana ini? Tolong aku.
Hari Sabtu. Hari ini sekolahku pulang awal. Seperti rencanaku sejak kemarin, aku ingin ke tempat itu. Sebuah tempat dekat terminal yang masih menjadi hantu di pikiranku.
Langkah kakiku masih terasa berat. Tapi aku tetap kuatkan untuk melangkah kesana. Yah, ini dia. Aku baca papan nama didepan bangunan itu. “PERPUSDA AMBARAWA.” Perpustakaan? Tanyaku dalam hati. Ada apa sebenarnya di perpustakaan. Bukannya hanya ada tumpukan buku-buku yang gak jelas. Itu yang ku tahu tentang perpustakaan. Sementara mereka, kok bisa-bisanya terlihat begitu gembira hanya dengan masuk ke perpustakaan. Saat itu juga, aku masuk ke perpustakaan.
“Dek, tolong isi dulu absent pengunjung di situ” Kata salah seorang penjaga perpus padaku sambil menunjuk beberapa baris buku yang berada di samping pintu masuk.
Ku tulis namaku dalam buku absent pengunjung SMA. Namaku berada dalam urutan nomor empat puluh. Agus Susanto.
“Banyak juga yang main kesini, kaya gak punya kerjaan lain saja. Sok kutu buku.” Batinku sinis.
Aku masuk dan berbaur dengan beberapa orang yang sudah memegang buku yang mereka pilih. Bapak tua berkacamata itu terlihat serius membaca Koran. Wanita berjilbab yang duduk tepat di depanku itu terlihat benar-benar meresapi bacaannya. Sementara cowok yang duduk di meja nomor dua dari pintu masuk itu terlihat asyik memainkan laptopnya. Dan juga beberapa orang dan anak-anak yang tak lepas memerhatikan buku yang mereka baca.
“Apanya yang menarik. Aneh.” Batinku lagi. Melihat cover dan deretan tulisan yang buanyak banget seperti itu membuatku tambah pusing.
Aku berdiri dan mencoba mendekati rak yang berisi buku-buku fiksi. Novel-novel dan beberapa kumcer terlihat berdesak-desakan mengisi rak itu. Kuambil buku dari pengarang yang namanya tak asing bagiku. Andrea Hirata. Karena sering muncul di televisi saat iklan trailer film. Kemudian aku duduk di kursi deket jendela. Agak tebal bukunya, tak ada gambarnya di dalam buku itu. Tapi aku mencoba untuk membacanya. Satu bab, dua bab dan seterusnya sudah aku lahap tiap kata dan tiap kalimat dalam buku itu. Sudah hampir satu jam aku duduk di situ. Adrenalinku tiba-tiba terpacu. Seakan-akan terhipnotis dengan alur cerita dalam buku itu. Detak jantungku mulai tak teratur, rasa ingin untuk terus membaca mengikuti cerita ini kuat sekali. Dan tiba-tiba. “ Dek…dek..dek, perpusnya sudah mau tutup, kalau mau melanjutkan membacanya silahkan dipinjam bukunya.” Kata petugas perpus.
“Emang boleh ya bu.”
“Ya boleh. Kamu sudah punya kartu anggota perpus belum?”
“Belum punya.” Jawabku.
Sebelum pulang, aku menanyakan syarat-syarat apa saja yang harus dipenuahi agar bisa menjadi anggota perpus.
Sejak saat itu aku mulai tertarik dengan membaca buku. Dan ketika keluar dari perpus itu, aku tersenyum riang. “Wah, seru juga ternyata membaca buku” Batinku saat keluar dari perpus.
Dari membaca buku, rasa ingin tahuku jadi tinggi. Dari tiap buku yang aku baca, aku menemukan banyak hal yang menjadi pelajaran dalam kehidupanku. Dari membaca buku itu, aku menjadi semangat lagi menjalani hidup ini. Kini akau tahu, mengapa orang-orang yang keluar dari perpus banyak yang terlihat sumringah. Ya karena mereka mendapatkan ilmu yang baru, ilmu yang penting untuk kehidupan mereka dan untuk kebutuhan mereka. Dan buatku, yang terpenting aku tidak lagi memikirkan tentang Vio, mantan pacarku yang sudah memutuskan aku. Aku jadi punya kegiatan lain yang lebih bermanfaaat daripada hanya sekedar memikirkan orang yang sudah membuatku sakit hati. Thank my books.

*sumber gambar : google


Kamis, 10 Juli 2014

Karena Setiap Langkah Punya Cerita

“Saya tak tahu, berapa waktu yang tersisa untuk saya. Satu jam, satu hari, satu tahun, sepuluh, lima puluh tahun lagi? Bisakah waktu yang semakin sedikit itu saya manfaatkan untuk memberi arti keberadaan saya sebagai hamba Allah di muka bumi ini?” ― Helvy Tiana Rosa, Risalah Cinta
Setiap jengkal langkahmu, pasti memiliki tujuan. Setiap tujuan yang kau hampiri pasti memiliki pengalaman. Dan, pengalaman itulah yang akan menjadi cerita. Cerita yang selalu kau share di facebook, twitter, instagram, path, ataupun blog.
Oke, ini adalah posting pertamaku di blog ini. hello friends, akhirnya aku bisa mengabulkan impianku. Yapz, punya blog pribadi (lagi). Kok, “lagi”? iya, dulu aku pernah punya blog. Tapi sayang, dua blog itu aku campakkan begitu aja, nggak keurus. Dan iniii... iya, aku janji kok bakal aku rawat. Disiram, dikasih pupuk, disemprot pestisida. #eh. Lo kira tanaman? Haha. 
Fokus... fokus. Kembali ngebahas blog ini. Seperti apakah ceritamu itu? Apakah membawa kebaikan untuk orang lain atau justru sebaliknya? Oke, merenung lagi.
Kita tak tahu berapa lagi sisa usia kita di dunia ini. Seperti kutipan Teh Helvy Tiana Rosa di atas. Satu jam lagi, satu hari, satu tahun, atau bahkan seratus tahun lagi pun kita tak tahu sisa umur kita. Hidup ini seperti di kejar deadline kematian dan setiap hari kita dituntut untuk setor amal kepada Sang Pencipta. Haruskah kita mengeluh? Hehe. Kalau kita tahu, sadar dan ngerti alasan kita hidup di dunia ini, pasti tak akan ada keluhan untuk setiap hal yang kita kerjakan setiap hari.
Manfaatkan waktu, kita tinggalkan cerita terbaik yang akan selalu dikenang dan bisa memberi kemanfaatan untuk orang lain. Ya, itu impianku.
Karena setiap langkah punya cerita, dan ceritakanlah, berbagilah apa yang kau alami kepada orang lain.
Kalau cerita itu buruk, apa harus diceritakan?
Ah, iya. Hidup ini tak hanya diisi dg hal baik aja.
Tak apa, hal buruk pun bisa memberi peringatan kepada orang lain juga. Tapi, itu namanya membuka aib donk.... Hmmmm, tidak membuka aib, hanya berbagi cerita agar orang lain tak mengalami keburukan seperti kita. .
Sumber gambar : google