20 Juli 2014, pukul 15.40 WIB."Kado istimewa itu datang dariku dan untuk diriku"
Aku menenteng tas ransel yang berisi 13 eksemplar buku dan laptop. Sumpah, ini berat banget. Haha.
Aku masih duduk santai, di teras mushola
sebuah pom bensin di Salatiga. Istirahat sebentarlah, setelah ikut kopdar kemudian
menyempatkan untuk shalat ashar.
Satu hal yang aku pikirkan, kado
spesial. Iya, hari ini aku ulang tahun yang ke-23. Fine lah jika ultah yang sudah-sudah berlalu begitu saja tanpa something yang meninggalkan kesan yang,
emmmm... “uuuukh” gitu. Hehe. Harus ada. Kado spesial untukku dan dari diriku
sendiri. Harus.
Breeem...breem...
Deru mesinku siap untuk melintas ke
sebuah tempat yang inginku tuju. Laju motorku mulai memasuki pusat kota
Salatiga. Kemudian aku memasuki area parkir Toserba ADA BARU. Tak lama aku di
situ, aku hanya ingin mencari tempat parkir yang aman. Selesai memarkirkan
motor, aku mulai berjalan kaki keluar dari Toserba.
“Oke, mari kita mulai, bung!” seruku
pada diri sendiri.
Kakiku terus melangkah menuju sebuah
tempat, dan... itu dia yang aku cariiiii. #girang. Haha.
Oh, kereta kuda, andong, dokar, atau
apalah kalian menyebutnya. Sore ini aku akan berkeliling Salatiga naik andong.
Mantaplah. Haha. #masih tetep girang.
“Pak, ke Nanggulan berapa, ya?” kataku
basa-basi dengan Pak Kusir.
“Sendirian, dik?” tanyanya. Kemudian aku
timpal dengan sebuah anggukan, isyarat bahwa aku sendirian. “lima belas ribu
saja.”
“Oh, kalau gitu lima puluh ribu ini,
pak. Bawa saya muter-muter salatiga, ya?” pintaku.
Deal. Aku langsung naik andong, kemudian
duduk manis di samping Pak Kusir. Haha, #makin girang.
Dalam hati aku bernyanyi,
Pada hari minggu ku jalan-jalan ke kota.
(tanggal 20 kemarin juga pas hari Minggu kok)
Naik andong istimewa, ku duduk di muka
Di samping pak kusir yang sedang bekerja
Mengendarai kuda supaya baik jalannya.
Tuk tik tak tik tuk.....
Kesan pertama saat duduk di andong saat
itu adalah WOOOOW, serius. Nyaman, santai, rileks. Nggak percaya? Coba aja
sendiri. Hehe.
Kaki kuda perlahan mulai melangkah
setelah tali kendali yang terus dipegang Pak Kusir itu ditarik.
Perjalanan dimulai, berawal dari Jalan
Jendral Sudirman atau sepanjang jalan depan Hotel Wahid. Menyusuri jalan satu
arah, aku membuka obrolan dengan Pak Kusir. Nggak lucu, kan kalau saat naik
andong malah diem aja, apalagi malah termehek-mehek galau? Haduh. Haha.
Kholidi, itulah nama Pak Kusir tersebut. Lelaki berusia 60-an tahun yang memiliki anak 4 dan tinggal di cebongan, tingkir Salatiga. Rambutnya tak lagi hitam,
tubuhnya agak membungkuk, tapi senyum dari bibirnya terus mengembang. Seorang kakek
yang sudah berprofesi sebagai kusir sejak tahun 1975 itu cerita banyak hal di
sepanjang perjalanan, baik tiba-tiba bercerita ataupun menjawab beberapa
prtanyaan yang aku ajukan.
Ah, enaknya naik andong. Ketika aku
membiarkan angin mengobrak-abrik rambutku, kemudian rambutku seperti terbang
gitu, kayak iklan shampoo di televisi. Ah, iya, saat itu aku seperti artis yang
sedang iklan shampoo. Haha.
Saat ada anak kecil yang berada didalam
mobil melambaikan tangannya ke arahku. Ah, iya, yang seperti ini, aku serasa
menjadi Raja Keraton yang sedang diarak oleh para pengawal, kemudian para
warganya berteriak-teriak dan melambaikan tangannya. Apalagi di sepanjang Jl.
Jendral Sudirman saat itu sedang macet.
Wah, benar-benar seperti menjadi pusat perhatian. Serius, nggak ke-pede-an kok.
Tapi,, entah apa yang yang ada di pikiran mereka. Turis juga bukan, naik andong
sendirian, ngobrol-ngobrol sok akrab sama Pak Kusirnya. Perfect. Haha.
Sampai di ujung Jl.Jensud ada lampu
merah, kemudian kita belok ke kanan, melewati Jl. Ahmad Yani. Kanan-kiri ku
lihat berjejer rapi pertokoan pujasera. Pertokoan yang sebagian besar dikuasai
oleh keturunan Cina.
Keseluruhan rute yang aku lewati adalah
Jl. Jensud – Jl. A.Yani – Jl. Osamaliki – Jl. Brigjen Sudiarto – Lapangan
Pancasila – Jl. Adi Sucipto – Jl. Moh Yamin – Jl. Langen Suko, kemudian kembali
lagi ke Jl Jendral Sudirman. Lumayanlah, bisa keliling salatiga naik andong
dengan uang 50 ribu. Padahal kalau naik motor, bensin 5 ribu juga nggak habis.
Tapi, sensasi yang kau rasakan berbeda. Coba aja. Hehe.
Tahu nggak? Berapa jumlah andong di
Salatiga? Nggak tahu kan... iya kan. Hehe.
Ngabuburit sore itu, dari jam 16.10
sampai 17.05 membuatku tahu beberapa hal tentang dunia andong di Salatiga.
Tak pernah aku kira, kota Salatiga yang
kecil itu memiliki 75 andong yang beroperasi untuk transportasi umum. Tahu
nggak, apa yang membuatku heboh dan heran kemudian melongo saat itu. Serius,
aku baru tahu saat itu.
Awalnya aku bertanya, kenapa andong
punya plat nomer pak? Jujur, aku penasaran banget. Kan andong bukan kendaraan
bermotor. Kenapa harus pakai plat nomer. Nggak penting juga, kan?
Ee ternyata, semua itu ada alasannya.
Setiap andong di Salatiga wajib punya
plat nomer layaknya kendaraan bermotor lainnya. Kenapa? Karena andong juga
memilik STNK. Terus... terus... Kusir andong ini juga wajib punya SIM loh.
Surat ijin mengemudikan andong. Aku sempat tak percaya ketika diceritakan hal
itu. Sempet melongo sejenak, lalu ada lalat lewat, hap, lalu di tangkap.. haha.
Keningku mengkerut tak percaya.
Ternyata... begitu.
“Kalau begitu andong juga ada pajaknya dong,
pak?” aku makin memberondong pertanyaan sama Pak Kholidi.
Dan, ternyata setiap tahun pajak setiap
andong di Salatiga adalah 15 ribu. Murahlah. Padahal harga kuda, lengkap dengan
keretanya sekitar 14 juta.
Dari STNK, SIM, kemudian pajak, semuanya
diurus di kantor Dinas Pekerjaan Umum Salatiga.
Satu hal lagi, yang membuatku penasaran.
Kebanyakan kusir andong, kan,
bapak-bapak dan kakek-kakek. Kalau anak muda seumuran saya begini, ada nggak,
pak?
Apa jawabnya? Ternyata ada. Walaupun
hanya satu hingga dua pemuda saja. Tidak dipungkiri, anak muda lebih
mengendarai motor dan bekerja yang lain daripada bekerja jadi kusir andong.
“Lawong anakku wae juga nggak mau kok
mas... mas,” jawab Pak Kholidi sambil tertawa.
Ya... ya... aku manggut-manggut.
Ternyata....
Menurut cerita Pak Kholidi, dari semua
angkutan transportasi umum di Salatiga, yang paling nyaman adalah naik Andong.
Mereka memiliki sebuah paguyuban yang berkumpul tiap tiga bulan sekali.
Kemudian, mereka tak pernah berebut penumpang, sekalipun tidak ada nomer urut antrian seperti tukan
ojek.
Apa kamu tahu? Ketika ada 4 andong
berjejer, kamu bisa pilih andong yang mana yang kamu inginkan. Karena mereka
tidak ada antrian mengangkut penumpang. Jadi, bebas baik dari yang paling kanan
ataupun dari kiri. 4 andong itu sama saja. Kamu bisa pilih mana andong yang
kamu suka, dan dengan warna kuda yang berbeda.
“Kan, kadang ada anak kecil yang pengen
naik kuda yang warna coklat begini,mas. Bukan yang warna hitam. Jadi selera mereka
saja.” Begitu tuturnya.
Lagi-lagi aku melongo, kagum. Hehe.
Dari sekian banyak hal yang mengesankan
selama perjalanan naik andong tersebut, ada satu hal yang membuatku kecewa. Aku
nggak bisa foto-foto bersama Pak Kholidi kusir kuda tersebut atau foto sendiri
di atas andong. Ya, aku nggak cukup pede selfie di atas andong saat keadaan
lalu lintas ramai gitu. Haha...
Tak, apalah. Tak apa.
Sudah yak cerita antara aku dan andong
ini. Satu hal yang pasti dari perjalanan ini, kini hari ulang tahunku berkesan.
Alkhamdulillah. Haha. :D.
0 komentar:
Posting Komentar